Nasional, Jakarta - Riset Setara Institute menemukan fakta bahwa pelanggaran kebebasan berkeyakinan meningkat dalam tiga tahun terakhir ini. Pada 2014 pelanggaran kebebasan berkeyakinan terjadi 134 peristiwa dan 177 tindakan pelanggaran kebebasan berkeyakinan. Sedangkan pada 2015 terdapat 197 peristiwa dan 236 tindakan. Lantas pada 2016 sebanyak 208 peristiwa dan 270 tindakan.

Peneliti Setara, Halili menjelaskan pada 2017 bukanlah data yang tertinggi. Masih ada tahun 2008 dan 2012. "Tapi kalau melihat polanya, ada peningkatan," kata dia dalam konferensi pers di Setara Institute, Jakarta Selatan, Ahad, 29 Januari 2017.

Baca:
Riset: Jakarta Masuk 5 Besar Provinsi Intoleransi ...
Intoleransi Menguat, Alissa Wahid Beri Saran untuk ...

Setara meminta pemerintah serius menangani masalah ini. "Pemerintah Jokowi tolong lakukan sesuatu, 2017 adalah tahun untuk bertindak," ujar Halili.

Halili berpendapat peningkatan jumlah intoleransi itu karena ada faktor regulasi yang bermasalah. Dia juga menilai Majelis Ulama Indonesia melalui fatwanya juga dapat memicu tindakan intoleransi. "Ketundukan negara yang membuat kebijakan menjadikan fatwa MUI konsideran, faktanya banyak kebijakan negara didasarkan fatwa MUI."

Baca juga: Bantul Disorot Mitra Komnas HAM Soal Intoleransi Beragama

Sejawat Halili, Sudarto mengatakan salah satu faktor yang membuat angka pelanggaran kebebasan berkeyakinan naik adalah aparatur negara. Presiden, kata dia, sibuk dengan infrastruktur. Dia pun menyebut Presiden kecolongan dengan kasus-kasus intoleransi. "Fenomena intoleransi warga kita cukup menguat," ujarnya.

Wakil Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan pada tahun ke- 2 pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, belum banyak perubahan berarti dalam perlindungan kebebasan berkeyakinan. "Bagi pemerintah melihat wajar kondisi ini karena masyarakat yang majemuk, tapi tidak wajar kalau itu terus terjadi dan bahkan meningkat," kata dia.

Sejak 2007, Setara Institute meneliti kondisi kebebasan beragama dan minoritas keagamaan di Indonesia. Pada 2007-2012, kata Bonar, biasanya kelompok radikal menjadi pelaku atau aktor pelanggar kebebasan berkeyakinan. Sedangkan pada 2012-2015 pelakunya kebanyakan pemerintah lokal. Pada 2016, pelaku didominasi kelompok warga. "Intoleransi sudah mulai menguat di masyarakat," kata Bonar. Pemerintah baru sadar ketika terjadi aksi 411 dan 212.

Dia mencontohkan pengikut Gafatar. Menurut Bonar, mereka hanya mengekspresikan keyakinan mereka tetapi dianggap kriminal oleh negara. "Kita tidak ingin mengalami apa yang terjadi di Pakistan apalagi Suriah," ujarnya. Sepanjang negara mau bertindak, ia yakin hal itu bisa dihindarkan."

REZKI ALVIONITASARI