Dunia, Abijan - Pemerintah Pantai Gading menahan 6 jurnalis, termasuk tiga pemilik media karena dianggap menyebarluaskan tulisan yang salah soal pemberontakan militer.
Penahanan itu berlangsung setelah mereka memberitakan aksi pasukan khusus Pantai Gading yang memprotes soal upah mereka.

"Protes itu disertai dengan aksi tembakan ke udara di barak militer mereka di Kota Adiake," tulis Al Jazeera, Senin, 13 Februari 2017.

Editor dan pemilik koran independe  L'Inter dan SoirInfo ditahan di kantor polisi di ibu kota Abijan. Penahanan itu juga dilakukan terhadap editor dan pemilik surat kabar Le Temps dan Notre Voie.

Para jurnalis itu akan dimintai keterangan untuk mengetahui siapa yang paling bertanggung jawab atas "kebohongan berita" tersebut. "Mereka diduga menyebarkan berita palsu," kata kantor kejaksaan dalam sebuah pernyataan di Abijan.

Pernyataan itu menjelaskan, mereka ditahan atas dugaan menerobos undang-undang yang berisi pelarangan memberitakan pemberontakan militer, menyerang pejabat pemerintah, dan menyebarkan informasi palsu terkait dengan pertahanan dan keamanan negara.

Pasukan khusus Pantai Gading melakukan pemberontakan di Adiake, 90 kilometer dari Abijan, pada Selasa hingga Kamis. Namun, belakangan, mereka meminta maaf kepada pemerintah sebagaimana disampaikan sumber militer.

Sebelumnya para serdadu elit itu melawan pemerintah atas pembayaran upah pada 5 Januari 2017.

Protes itu mereda setelah pemerintah sepakat memberikan tambahan subsidi kepada 8.500 pemberontak senilai 12 juta CFA Franc atau sekitar Rp 253 juta kepada setiap anggota serdadu khusus itu.

Namun demikian, kebijakan pemerintah ini diprotes tentara dari kesatuan lain. Mereka turun ke jalan menuntut bonus yang sama dengan pasukan elit.

AL JAZEERA | CHOIRUL AMINUDDIN